Kamis, 18 Desember 2008

Strategi Kreatif 'Menjual' Sekolah

Ketika kita mendengar atau membaca kata 'menjual', maka asumsi kita biasanya sebuah produk barang dan bukan jasa. Padahal, jasa juga sesuatu yang bisa dijual seperti layaknya jasa penerbangan, pengiriman barang, bahkan perbankan sekalipun. Pertanyaan berikutnya, layakkah sebuah institusi pendidikan di’jual'?. Sebenarnya, kata 'menjual' dalam makalah ini lebih berkonotasi pada perolehan siswa baru. Karena pada kenyataannya, bahkan sekolah-sekolah 'plat merah' yang dulu menjadi rebutan, pilihan utama dan favorit, sekarang juga harus mati-matian mencari siswa. Apalagi sekolah-sekolah swasta yang berjuang independen mengusung nama yayasan.

Strategi memasarkan sekolah jelas berbeda dengan memasarkan produk shampoo, mie instan, atau rokok. Namun jika ditinjau lebih luas lagi tentang pemasaran pada umumnya, ada benang merah yang bisa ditarik di tiap-tiap produk baik barang maupun jasa. Berdasarkan pengalaman menangani beberapa klien lembaga pendidikan, keluhan mereka rata-rata bahwa, lembaga merasa sudah melakukan upaya promosi segencar mungkin, dengan biaya yang tidak sedikit, namun perolehan siswa barunya tidak seberapa. Ada banyak faktor yang bisa memengaruhi kendala tersebut, bisa faktor eksternal maupun internal. Namun biasanya, kendala tersebut dikarenakan lembaga kurang memahami karakter sasaran, dalam hal ini bisa orang tua calon siswa, maupun calon siswa itu sendiri.
Untuk itulah, sebelum mengawali sebuah proses pemasaran sekolah, ada baiknya didahului dengan adanya data. Pengumpulan data tidak harus detail seperti halnya petugas sensus penduduk atau pegawai statistik. Bisa diawali dengan memerhatikan siswa yang telah ada, berdasarkan data siswa akan bisa diketahui, dari kalangan mana saja yang cenderung memilih sekolah yang Anda tawarkan. Variabelnya bisa dari lokasi asal siswa, status sosial, pendidikan, dan sebagainya. Berdasarkan data tersebut bisa ditarik suatu kesimpulan, siapa pasar utama sekolah Anda. Terkait dengan pasar utama, setidaknya ada beberapa kesalahan yang sering dilakukan oleh pemasar dalam menjual produknya:
Pertama, target pasar yang terlalu luas. Jika hanya mau membunuh nyamuk, maka tidak perlu menggunakan senjata api. Artinya, dengan mengetahui jangkauan pasar yang akan dibidik, maka bisa dipilih alat untuk membidiknya. Tentukan pasar utamanya, maka konsentrasikan seluruh komponen pemasaran pada target tersebut. Mungkin tidak terlalu banyak, tapi itulah pasar yang potensial. Sehingga biaya promosi bisa sebanding, minimal dalam jangkauan yang wajar dan rasional dengan perolehan siswa barunya.
Kedua, target pasar yang salah. Ini lebih parah. Jika tidak bisa memahami produk yang ingin dipasarkan, maka kecenderungannya salah memilih pasar. Pemahaman terhadap produk (dalam hal ini sekolah Anda) akan sangat membantu dalam menentukan pasar potensial. Salah memilih pasar, maka fatal akibatnya.
Ketiga, pendekatan yang dipakai. Memasarkan sekolah pada level menengah ke atas jelas berbeda dengan level menengah ke bawah. Baik bahasa yang digunakan, keunggulan yang ditawarkan, maupun media yang dipakai.
Keempat, tepat tempat dan tepat waktu. Ketepatan waktu menjadi hal pokok dalam upaya pemasaran. Jika pada bulan Ramadhan yang sebenar lagi menjelang, maka biasanya produk-produk yang gencar beriklan adalah sarung, obat sakit maag, tonikum penambah darah dan perlengkapan ibadah lainnya. Apakah salah jika sarung berpromosi di bulan Syawal? Jelas tidak!. Tapi timing-nya tidak tepat. Demikian juga memasarkan sekolah, harus diketahui kapan biasanya orangtua calon siswa membutuhkan informasi tentang sekolah. Ketepatan tempat pemasangan media promosi juga sangat berpengaruh terhadap penerimaan sasaran akan produk yang kita tawarkan. Sehingga harus diperhatikan, dimana spanduk akan dipasang, kemana brosur akan disebarkan atau dimedia cetak/elektronik mana sekolah akan diiklankan.
Namun, jika setiap sekolah melakukan upaya pemasaran pada waktu yang bersamaan, maka akan terjadi over information. Di sinilah pentingnya strategi kreatif agar pesan yang kita sampaikan tidak paritas atau sama dengan yang lain. Karena jika strategi, media dan pesan yang kita sampaikan sama dengan yang lain, bisa jadi promosi kita memiliki 'daya ganggu' yang lemah. Akibatnya, pesan yang kita sampaikan tidak diperhatikan, apalagi dipahami, dan ujungnya perolehan siswa baru tidak ada peningkatan yang signifikan atau bahkan menurun.
Membuat promosi yang menarik dan kreatif agar bisa mencuat keluar dari belantara promosi produk sejenis, memang tidaklah terlalu mudah. Budiman Hakim, seorang pakar periklanan merumuskan sebuah iklan yang baik minimal memnuhi kriteria SUPER-A.
Simple. Kata simple sering diartikan orang sebagai sesuatu yang sederhana, sebagai sesuatu yang dapat dimengerti dengan sekali lihat. Pengertian itu mungkin tepat untuk digunakan dalam peluncuran brand baru. Untuk brand yang sudah mapan? Belum tentu ! Dalam konteks ini, pengertian simple akan lebih tepat diartikan dengan tidak banyak elemen dan komunikatif. Komunikatif berarti mempunyai kekuatan untuk mengajak konsumennya berkomunikasi, sehingga konsumen dapat menemukan makna lain di balik makna yang terdapat di permukaannya. Sebuah iklan yang baik, tampilan dan outputnya memang harus simple tapi pemikirannya sama sekali tidak simple. Seringkali memerlukan pemikiran yang sangat bertingkat, mendalam dan melebar. Harus menghindari pengguaan elemen terlalu banyak, serta menggunakan elemen sesedikit mungkin namun iklan itu harus bisa berbicara semaksimal mungkin.
Unexpected. Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu dikelilingi dan diserang oleh iklan dari berbagai penjuru. Di rumah, di mobil, di jalan, di mall dan di mana-mana. Dari ribuan iklan yang bertebaran itu, hanya beberapa saja yang bisa kita ingat. Karena itulah iklan yang smart akan menjadi outstanding. Kemampuan sebuah iklan menempatkan diri dalam otak, dikarenakan ide-nya yang unik. Ide yang unik akan membuat sebuah iklan menjadi unpredictable. Orisinalitas akan menjadikan iklan yang kita buat menjadi berbeda dengan ribuan iklan yang muncul di saat yang bersamaan. Ide yang tidak disangka-sangka akan jauh lebih diingat oleh konsumennya. Lebih dihargai dan akhirnya akan menjadi top of mind – paling tidak dalam segment-nya.
Persuasive. Sering juga disebut sebagai daya bujuk. Daya bujuk mempunyai daya pengaruh untuk menyihir orang agar melakukan sesuatu. Iklan dengan daya bujuk yang kuat, hampir pasti akan menggerakkan konsumen untuk mendekatkan diri dengan brand dan tertarik untuk mencobanya. Apakah mereka akan menjadi konsumen yang loyal ? Itu tugas yang harus dipikul brand dan produk itu sendiri. Bukan iklannya! Sangat sering orang teringat pada sebuah iklan namun mereka tidak dapat mengingat brand yang diiklankan.
Entertaining. Dari banyaknya iklan yang ada, berapakah yang bisa menghibur kita ? Tidak banyak ! Mungkin hanya ada beberapa yang terlintas di benak kita. Selebihnya hanya iklan-iklan standar yang akan terlewat begitu saja dari penglihatan dan ingatan kita. Karena entertaining menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Entertaining tidak hanya berarti lucu! Dalam skala yang lebih luas, entertaining berarti mampu mempermainkan emosi konsumennya. Bisa membuat penonton tertawa, menyanyi, menari, menangis, terharu, pokoknya apapun dapat dilakukan selama permainan emosi itu juga mengangkat simpati terhadap brand yang diiklankan.
Relevant. Sekreatif apapun, sejauh apapun melantur, ide kita harus tetap relevan. Harus tetap ada pertanggungjawaban, harus tetap ada rasionalitas dan harus ada korelasi dengan brand.
Acceptable. Ada banyak sekali iklan yang mengundang reaksi masyarakat karena dinilai melampaui nilai-nilai ketimuran. Masalahnya masyarakat Indonesia sangat beragam budayanya, agamanya, bahasanya, gaya hidupnya, akhirnya tentu saja tata nilainya. Sehingga perlu dipikirkan, sebuah iklan sekolah yang tidak hanya menarik, kreatif, tetapi juga tidak melanggar syar’i maupun SARA, dan tentu saja memengaruhi calon siswa.
Semoga bermanfaat! Amien. [Budi Yuwono]

Tidak ada komentar: