Senin, 28 September 2009

Cara Murah Memasarkan Sekolah


Cara promosi paling kuno yang masih menjadi senjata pemasaran paling efektif hingga hari ini adalah cerita dari mulut ke mulut alias word of mouth (WOM). Orang terkesan, lalu menceritakan kepada orang lain, dan tidak hanya berhenti di telinga, orang lain itu pun menceritakan kembali kepada orang-orang yang ia temui. Satu cerita bisa mengalir ke puluhan, ratusan dan bahkan ribuan orang. Dan karena cerita disampaikan atas kemauan sendiri, bukan pesanan sponsor, serta dilakukan oleh orang yang tidak punya kepentingan dengan produk tersebut, maka kekuatannya menjadi sangat dahsyat. Orang percaya penuh.  
Masalahnya adalah, membuat orang berbicara spontan atas kemauan sendiri tentang produk yang kita miliki (baca: sekolah) justru jauh lebih sulit dibanding pasang iklan di majalah.
Inilah yang mendorong para ahli pemasaran dan pakar komunikasi untuk melakukan penelitian serius tentang bagaimana caranya agar orang dengan senang hati dan atas kemauan sendiri membicarakan produk kita kepada orang lain. Para ahli memusatkan perhatian pada upaya apa saja yang bisa dilakukan agar orang berbicara dengan sangat antusias dan merekomendasikan kepada orang lain. Dibanding iklan, rekomendasi dari sesama konsumen sampai saat ini merupakan promosi paling efektif.
Berbicara tentang WOM, satu nama yang hampir tak bisa kita abaikan adalah Andy Sernovitz. Penulis buku Word of Mouth Marketing sekaligus orang penting di balik situs terpercaya tentang pemasaran dari mulut ke mulut (www.wordofmouthbook.com) ini merupakan praktisi yang telah berpengalaman menangani strategi pemasaran dari mulut ke mulut berbagai perusahaan multi nasional. Buku Word of Mouth Marketing merupakan rangkuman pengalaman dan kedalaman ilmu Sernovitz tentang strategi pemasaran C2C (customer to customer), istilah lain untuk WOM.
Berbeda dengan strategi pemasaran B2C (business to customer) atau perusahaan ke konsumen, pendekatan C2C menitikberatkan pada upaya-upaya sistematis agar orang secara “alamiah” berbicara tentang produk kita. Dalam konteks sekolah, strategi C2C dirancang agar wali murid serta orang-orang yang berinteraksi dengan sekolah mempunyai dorongan untuk mempromosikan sekolah kita secara menggebu-gebu tanpa kita suruh. Mereka dengan senang hati menceritakan sekolah kita karena sangat terkesan. Mereka memiliki ikatan emosional yang sangat kuat, meskipun anaknya sudah pindah ke sekolah lain atau saat mendaftar tidak diterima di sekolah kita. Misalnya karena kuota sudah terpenuhi.
Jika kondisi ini tercapai, maka promosi sekolah boleh dikata costless (tak berbiaya). Lebih penting dari itu, promosi model ini juga sangat efektif dan berlangsung terus-menerus sepanjang waktu.
Nah, bagaimana caranya agar orang dengan senang hati “mempromosikan” sekolah kita tanpa kita suruh? Sernovitz menunjukkan ada empat aturan yang harus kita penuhi. Pertama, jadilah yang menarik (be interesting). Berikan alasan yang kuat bagi orang untuk membicarakan sekolah kita. Ini bukan urusan mutu semata-mata. Ada hal lain yang berkait dengan kekhasan sebagai daya tarik yang menggugah orang untuk membicarakan.
Kedua, sederhanakan. Temukan pesan yang sangat sederhana. Semakin sederhana semakin baik. Jika kita bisa menciptakan pesan super sederhana yang bermakna tentang sekolah kita, orang akan mudah berbagi cerita. Temukan satu kata dahsyat yang mewakili sekolah Anda. Kata inilah yang menjadi keunikan sekolah Anda. Ingat, yang perlu kita temukan adalah pesan sederhana. Satu kata yang kuat merupakan pesan sederhana, tetapi akan rumit jika lebih dari satu kalimat. Apalagi jika terdiri dari beberapa kalimat.
Ketiga, bahagiakan orang lain. Konsumen yang bahagia adalah pengiklan paling hebat. Untuk itu, ciptakan produk yang menakjubkan dan beri pelayanan yang terbaik. Jika Anda memberi layanan ekstra, mereka akan memperoleh pengalaman mengesankan yang selalu teringat. Ini mungkin berkait dengan hal-hal kecil. Tetapi perkara kecil bisa membawa pengaruh besar.
Keempat, perbanyak tabungan kepercayaan dan sikap hormat dari orang lain. Jika orang lain tidak hormat kepada Anda, promosi dari mulut ke mulut (WOM) tidak akan pernah terjadi. WOM akan berkembang jika sekolah Anda menjadi lembaga yang memiliki kelayakan untuk dihormati dan dipercaya. Dua hal ini –hormat dan percaya—hanya akan mungkin terjadi jika sekolah Anda bukan hanya bagus, lebih dari itu sangat menjaga tata krama kepada para konsumen, terutama wali murid.
Jika empat aturan itu sudah kita penuhi, Sernovitz mengajukan 5-T sebagai formula strategi pemasaran WOM. Kelima T itu meliputi talkers, topics, tools, taking part, dan tracking.
Talkers. Selalu ada orang yang antusias untuk berbicara. Mereka ini yang paling bersemangat menceritakan pengalamannya. Tugas Anda menemukan dan merawat orang-orang semacam ini sehingga mereka menjadi penyampai pesan Anda secara suka rela. Mereka akan melakukan “tugas” tersebut jika Anda memberikan kepada mereka sesuatu untuk mereka bicarakan dan mereka menyukai Anda.
Satu hal yang harus diingat, mereka berbicara atas kemauan sendiri. Bukan karena Anda suruh. Semakin spontan dan antusias mereka, akan semakin besar peluangnya menular kepada orang lain. Sebaliknya begitu orang melihat bahwa ada unsur transaksi antara Anda dengan mereka, pembicaraan mereka akan kehilangan kredibilitas.
Lalu siapa yang bisa menjadi talkers? Intinya, orang tersebut senang bercerita tentang apa yang berkesan baginya. Ini bisa wali murid, karyawan, relasi, pedagang di sekolah atau bahkan guru di sekolah Anda sendiri maupun keluarganya.
Topics. Seluruh WOM bermula dari topik yang menggairahkan untuk dibicarakan. Karenanya, ciptakanlah topik tersebut. Jika TK menampilkan gerak dan lagu saat ada acara, dijamin tak akan ada topik yang hangat untuk dibicarakan. Kenapa? Karena semua TK begitu. Topiknya sama, caranya juga sama.
Tools. Anda perlu menyiapkan perangkat agar topik bisa berkembang dengan lebih pesat. Internet merupakan salah satu alat yang sangat efektif. Ini terutama melalui milis, blog atau jejaring sosial lainnya. Bukan melalui situs resmi, meskipun ini juga sangat bermanfaat.
Taking part. Bergabunglah dalam percakapan. Jika perlu ada orang yang mengambil peran aktif dengan melibatkan diri dalam berbagai percakapan. Ini merupakan salah satu tugas humas, tetapi pelaksananya sebaiknya jangan orang-orang yang secara resmi memakai predikat humas. Ingat, predikat tersebut bisa menjadikan kredibilitas menurun karena orang akan merasa, “Maklum humas. Sudah tugasnya menebar berita.”
Tracking. Lacak jejaknya. Pembicaraan yang berkembang meluas perlu Anda ukur dan pahami apa yang sedang diperbincangkan orang. Pantau pembicaraan apa yang sedang berkembang tentang sekolah Anda dan cermati apa sebabnya. Juga apa yang akan terjadi dengan pembicaraan tersebut.
Nah.
Lalu apa yang bisa Anda lakukan untuk menggencarkan strategi pemasaran WOM bagi sekolah Anda?

Read More......

Selasa, 21 April 2009

Kelas yang Hidup

Ada satu nama yang hampir tak bisa ditinggalkan setiap kali berbicara tentang manajemen kelas. Dia adalah Robert J. Marzano, ilmuwan senior di Mid-Continent Research for Education and Learning yang bermarkas di Aurora, Colorado. Profesor yang juga Wakil Presiden dari Pathfinder Education, Inc., sebuah perusahaan yang mengkhususkan diri dalam bidang penelitian dan konsultansi pendidikan persekolahan ini dikenal sebagai pembicaraan dan trainer bereputasi internasional karena berbagai penelitiannya yang sangat serius dalam bidang ini. Lebih dari 35 tahun, Marzano melakukan penelitian intensif tentang sekolah dan manajemen kelas.

Awalnya, Marzano menekuni studi tentang pengelolaan sekolah dan kepemimpinan. Tetapi berbagai riset yang dilakukan tentang kesuksesan siswa, mengantarkan dia sebagai peneliti paling kompeten tentang manajemen kelas sekaligus seorang trainer dan konsultan yang berhasil. Ia sukses menjadi trainer bukan hanya karena kemampuannya membawakan materi secara memikat. Lebih penting dari itu adalah, ia mengubah banyak ruangan kelas melalui guru-guru yang mengikuti pelatihannya.
Sampai saat ini, tidak kurang dari 25 buku serius yang telah ia tulis tentang manajemen kelas maupun pengelolaan sekolah serta lebih dari 150 artikel dan bab dengan topik seputar keefektivan sekolah, mengajarkan keterampilan berpikir serta tentang penyusunan, penataan kembali, asesmen dan implementasi standar di kelas maupun sekolah.
Saya merasa perlu memperkenalkan sosok yang satu ini sebagai pembuka rangkaian eksplorasi buku yang insyaAllah akan muncul di buletin ini karena ke depan kita akan beberapa kali merujuk pada hasil-hasil riset atau bukunya. Sebagaimana pada kesempatan yang lain, insyaAllah saya akan memperkenalkan nama Thomas J. Sergiovanni ketika berbicara tentang kekepalasekolahan (principalship).
Kali ini, sebagai tulisan pembuka, saya ingin mengajak Anda untuk menikmati sajian tulisan Marzano bertajuk Classroom Management that Works: Research-Based Strategies for Every Teacher. Buku yang ditulis bersama Jana S. Marzano dan Debra J. Pickering ini diterbitkan oleh ASCD (Association for Supervision and Curriculum Development) yang berkedudukan di Virginia. Sebuah buku yang relatif lama –terbit tahun 2003—tetapi isinya masih sangat aktual.
Apa yang menarik dari buku ini? Daya ubah guru. Mari kita lihat kasus anak-anak yang nilai matematikanya berada pada persentil 50 (lihat tabel). Mereka yang masuk sekolah rata-rata dengan guru yang kualitasnya juga rata-rata, setelah 2 tahun prestasi mereka tidak berubah. Tetap berada pada persentil 50.
Mereka yang masuk sekolah kurang bermutu dengan guru yang juga di bawah rata-rata, maka setelah 2 tahun siswa anjlok prestasinya dari persentil 50 ke 3. Terjun bebas. Sementara mereka yang masuk ke sekolah bermutu (efektif) dengan guru yang di bawah rata-rata, prestasi siswa pada umumnya merosot ke persentil 37. Sebaliknya, jika mereka yang berada di persentil 50 pindah ke sekolah bagus dengan guru yang unggul, prestasi mereka melonjak ke persentil 96 setelah 2 tahun. Sedangkan yang masuk sekolah ecek-ecek dengan guru yang sangat efektif, siswa meningkat prestasinya ke persentil 63.
Apa yang bisa kita petik dari catatan Marzano? Anak yang biasa-biasa saja bisa mencapai prestasi cemerlang jika ia masuk sekolah yang efektif dengan guru yang juga efektif. Perubahan prestasi tersebut bisa terjadi secara sangat dramatis. Bukan hanya secara individual, lebih dari itu lompatan prestasi terjadi secara klasikal. Tetapi sekolah efektif tanpa guru yang efektif, prestasi siswa justru cenderung merosot secara signifikan. Sebaliknya – sebagaimana ditunjukkan oleh Marzano di awal buku ini— sekalipun sekolah sangat tidak efektif, guru tetap dapat melejitkan prestasi siswa. Ini menunjukkan bahwa yang paling menentukan keberhasilan belajar siswa di sekolah adalah guru. Tanpa dukungan manajemen sekolah yang efektif, guru mampu mendongkrak prestasi siswa. Sementara tanpa kehadiran guru efektif, sekolah hebat tidak berarti apa-apa. Bahkan prestasi siswa akan cenderung menurun.
Meskipun pengaruh guru kelas sudah sangat jelas, tetapi dinamika yang terjadi sehingga guru bisa mengubah siswa biasa-biasa saja menjadi luar biasa, bukan perkara sederhana. Guru efektif menjalankan banyak fungsi. Selain mengajarkan bidang studi yang menjadi tanggung-jawabnya, guru efektif juga seorang motivator yang memanfaatkan setiap kesempatan untuk mendorong siswa berprestasi. Dia juga mampu menyelenggarakan proses pembelajaran di kelas yang bersifat motivasional, yakni kegiatan pembelajaran yang menjadikan siswa bergairah terhadap mata pelajaran tersebut meskipun di dalamnya tidak ada kegiatan pemberian motivasi secara khusus.
Jika kita kelompokkan, ada 3 fungsi utama yang perlu diperhatikan untuk menjadi guru efektif. Pertama, menciptakan pilihan-pilihan bijak tentang strategi instruksional yang akan dijalankan di kelas. Kedua, merancang kurikulum kelas untuk memfasilitasi belajar siswa. Ini meliputi bagaimana guru melakukan presentasi di depan siswa sehingga bisa menyampaikan pengetahuan yang sama dalam format berbeda. Cara ini dimaksudkan agar siswa memiliki gairah belajar yang tinggi hingga di rumah. Ketiga, menggunakan secara efektif teknik-teknik manajemen kelas.
Ketiga hal ini menarik sekali untuk kita diskusikan lebih lanjut. Lebih-lebih berkait dengan bagaimana mengembangkan ketiga hal tersebut pada diri guru-guru, sehingga mereka mampu menerapkan di kelas. Tetapi kesempatan kita sangat terbatas. InsyaAllah di lain waktu kita bisa berbincang lebih panjang.
Bagian lain yang menarik dari buku ini adalah hasil riset yang dilakukan oleh Marzano dan kawan-kawan tentang faktor yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Riset ini memusatkan perhatian pada hal-hal apa yang memberi pengaruh besar bagi peningkatan prestasi siswa. Dari sekian banyak hal, ada empat aspek manajemen kelas yang paling menonjol pengaruhnya. Pertama, mental set. Kedua, intervensi disiplin, yakni tindakan-tindakan kelas yang dilakukan oleh guru untuk menciptakan disiplin tinggi pada diri murid, baik di kelas maupun luar kelas. Ketiga, hubungan guru-murid. Pola hubungan high dominance merupakan antara guru dan murid merupakan bentuk yang paling optimum dalam melejitkan prestasi. Disusul oleh pola berikutnya, yakni high cooperation. Sementara dua pola hubungan lainnya, high submission dan high opposition memberi akibat buruk bagi siswa. Keempat, aturan dan prosedur yang jelas.
Nah.
Read More......

Kamis, 08 Januari 2009

Mengemas Produk Agar Lebih Hidup

Pepsi butuh waktu lima puluh tahun untuk menyadari kesalahannya. Awalnya mengekor pada Coca-Cola, termasuk warna yang dipakai maupun brand-image yang dibangun. Tetapi cara ini gagal meraih pasar yang kuat. Belakangan, Pepsi menyadari kekeliruan ini dan segera meng­ubah strateginya. Jika Coca-Cola memilih warna merah menyala, dan seluruh publikasi komersilnya didominasi warna merah untuk menancapkan ingatan yang sangat kuat pada benak konsumen; maka Pepsi menggunakan warna biru sebagai identitas mereknya.

Langkah ini membawa hasil yang menakjubkan. Kalau lihat warna biru tua, orang segera ingat Pepsi. Keberhasilan ini juga ditunjang oleh keputusan Pepsi untuk melakukan resegmentation dan repositioning. Jika Coca-Cola menjadi coke-nya orang dewasa, maka berhadap-hadapan dengan Coca-Cola justru akan sulit memperoleh market share yang besar. Karenanya, Pepsi membidik anak muda dan memposisikan sebagai minuman yang membawa spirit, enerjik, dan dinamis.
Tahun 1985, kedudukan Coca-Cola sebagai pemimpin pasar minuman ringan nyaris tergeser oleh pesaing beratnya, Pepsi. Ini membuat pihak Coca-Cola kebingungan. Setelah meluncurkan kem­bali Coke asli dengan label Coca-Cola Classic, mereka segera melemparkan dua posi­tioning statement yang diharapkan mampu menggairahkan penjualan. Untuk New Coke dipa­kai We’ve Got a Taste for You dan kemudian Catch the Wave, sedangkan untuk Coca-Cola Cla­ssic America’s Real Choice dan se­lanjutnya Red, White and You.
Dua positioning statement itu tentu saja membingungkan. Konsumen sukar menangkap apa yang dikehendaki oleh Coca-Cola. Coke cepat menyadarinya dan menggan­tinya menjadi ha­nya satu positioning statement: Can’t Beat the Feeling (1988), Can’t Beat the Real Thing (1989), dan Always Coca-Cola (1993). Tema yang terakhir tersebut mudah diingat, mudah dimengerti, dan mudah dikembangkan (dalam arti positif). Sejak itu, Coke kembali berjaya dan mampu menjaga jarak lagi dengan Pepsi, setelah sebelumnya nyaris terkejar.
Coca-Cola memang menjadi pemimpin pasar, tetapi Pepsi memiliki posisi yang kuat. Mengutip Al Ries, idealnya ada dua merek yang paling berpengaruh dalam satu kategori produk. Hadirnya pesaing kuat yang dihadapi dengan strategi kuat juga, justru akan meluaskan pasar dan meningkatkan permintaan. Dengan dua pemain utama, pasar lebih dinamis dan corporate akan lebih kreatif melakukan inovasi produk, pemberian layanan konsumen dan pencarian strategi pemasaran yang matang dan sekaligus tangkas melakukan pembedaan (diferensiasi) dengan kompetitor. Situasi persaingan ini juga melahirkan komitmen perusahaan untuk menjaga ekuitas merek dan senantiasa meningkatkan kualitas, baik layanan maupun produk.
Pembedaan merupakan hal mutlak ketika persaingan sudah sangat kuat. Seperti kata Jack Trout, “Differentiate or die.” Berbeda atau mati. Mereka yang tidak mampu melakukan pembedaan secara kreatif –hanya asal beda—tidak akan memperoleh brand-awareness yang kuat dari konsumen, kecuali jika ia pemain satu-satunya atau ia pemain pertama dan dalam waktu cukup lama tidak ada kompetitor yang kuat.
Kaidah the first means the best masih berlaku dalam hal ini. Yang pertama adalah yang ter­baik. Meskipun yang pertama belum tentu yang terbaik, tetapi publik cenderung mempersepsi yang pertama sebagai yang terbaik. Sementara yang datang berikutnya, cenderung dipersepsi lebih rendah daripada yang sebenarnya (perceived worse), kecuali jika yang kedua mampu menunjukkan keunggulan konsepnya. Menjadi yang pertama sulit memulainya, tetapi lebih mudah meraih sukses. Sebaliknya, menjadi yang kedua (apalagi yang ketiga) lebih mudah memulainya, tetapi resiko jatuh di tengah jalan akan lebih besar.
Karena yang pertama adalah yang terbaik, perusahaan selalu berusaha menjadi yang per­tama. Jika tidak mampu, perusahaan berusaha menemukan kategori baru sehingga ia bisa menjadi pemain pertama di kategori tersebut. Obat flu banyak, tetapi obat flu yang tidak menimbulkan kantuk adalah Sanaflu. Inilah kategori baru. Menjadi pemain pertama obat flu tidak mungkin karena obat flu memang sudah sangat banyak. Tetapi Sanaflu menemukan kategori baru: OBAT FLU YANG TIDAK MENIMBULKAN KANTUK.
Ini tidak sekedar teknik beriklan.
Memunculkan kategori baru berarti menciptakan pasar dan sekaligus memudahkan untuk menjadi pemimpin pasar. Merek teh sangat banyak, tetapi teh botol cuma Sosro. Hi-C yang didukung oleh team pemasar tangguh dari The Coca-Cola Company International, tidak mampu melawan domi­nasi Teh Botol Sosro. Hi-C dianggap bukan teh botol yang autentik. Setelah lebih dari sepuluh tahun gagal meraih pasar, Hi-C baru menyadari kesalahannya. Berkoalisi dengan Nestle, The Coca-Cola Com­pany mereborn (melahirkan kembali produk yang sama) dengan cara rebranding (membuat merek baru). Jadilah Frestea. Produk lama dengan merek dan kemasan baru ini segera meraih sukses besar di pasar. Ini merupakan ancaman bagi Sosro. Maka Sosro meluncurkan produk yang disiapkan untuk memukul Frestea. Namanya S-Tee. Soal pricing & positioning, disiapkan untuk berhadap-hadapan de­ngan Frestea. Dengan demikian, posisi Sosro sebagai pemimpin pasar tidak perlu terganggu. Cukup S-Tee yang berperang melawan Frestea. Kalau kemudian S-Tee menang melawan Frestea, tak jadi soal. Toh sama-sama punya Sosro.
Kaidah the first means the best juga berlaku untuk sekolah. SDIT pertama di suatu daerah (meskipun sudah ada puluhan SDIT di seluruh Indonesia), sekolah alam dan berbagai nama jenis lainnya, segera memperoleh respon yang bagus meskipun masyarakat sebenarnya belum mengerti betul konsep masing-masing sekolah. Salah satu sebabnya, masyarakat (calon konsumen) menangkap ada inovasi di balik nama-nama itu.
Tapi bagaimana jika sekolah Anda bukan yang pertama? Temukan diferensiasi yang unik dan komunikasikan secara terus-menerus perbedaan tersebut sehingga bermakna. Lebih bagus lagi jika Anda bisa menciptakan kategori baru. Di Surabaya misalnya, Muhammadiyah punya SD Kreatif. Apa yang terbayang dalam benak Anda ketika mendengar nama SD Kreatif? Sesuatu yang inovatif dan positif.
Tentu saja jangan asal bikin kategori. Jika tidak bisa menunjukkan perbedaan signifikan dengan sekolah-sekolah lain, kategori baru yang Anda ciptakan tidak kredibel. Dan karena itu tidak dipercaya.
Berikutnya, yang perlu kita lakukan secara konsisten adalah focusing. Seluruh kegiatan sekolah mengacu pada fokus utama yang hendak dijadikan kekuatan unik sekolah. Berbagai produk baru yang diluncurkan oleh sekolah diarahkan untuk melakukan focusing agar positioning sekolah bisa lebih kuat. Produk ini bisa termasuk layanan untuk wali murid, kegiatan publik, event untuk murid dan berbagai bentuk produk pendukung. (Mohammad Fauzil Adhim, School Marketing, diolah dari berbagai sumber).
Read More......

Selasa, 30 Desember 2008

Kelamin Huruf


Apa yang salah dalam penulisan dua papan nama di atas? Bukannya terbaca dengan sangat jelas “Pondok Pesantren Putra” maupun “Pondok Pesantren Putri” ! Tapi rasanya ada yang kurang pas di situ. Ya !, rasa… yang setiap orang memilikinya. Sehingga benarlah bahwa tidak ada istilah salah atau benar dalam desain, yang ada adalah “pas atau tidak”.

Ukuran ke'pas'an atau kepantasan barometernya tidak cukup hanya menggunakan logika dan rasio berpikir semata. Karena rasa pas atau tidak letaknya di hati, yang setiap kita memiliknya. Maka sudah selayaknya ketika merancang sebuah publikasi pemasaran mempertimbangkan hal-hal tersebut. Contoh di atas hanyalah salah satu aplikasi elemen desain visual yang sangat sederhana. Dalam desain komunikasi visual, setiap elemen -baik warna (color), huruf (typhography), maupun bentuk (shape)- memiliki kehidupan, status sosial, 'ruh', bahkan jenis kelamin. Belum lagi ilustrasi, gaya tutur, komposisi dan lainnya.
Huruf 'latin' yang meliuk-liuk gemulai, warna pink yang genit, dan bentuk oval yang lembut, jenis kelaminnya perempuan. Sedangkan huruf bold yang kaku dan berat, warna kuat merah/hitam serta bentuk persegi empat yang solid adalah berjenis kelamin laki-laki. Barangkali pernyataan ini tidak harus dibuktikan secara empiris, meskipun sudah ada beberapa peneliti yang melakukannya, namun rasa di dalam hati kita mengatakan demikian. Kembali lagi pada pertanyaan di awal, apakah desain papan nama pesantren di atas salah ? Sekali lagi jawabannya, tidak! yang ada adalah kurang pas.
Karena 'rasa' letaknya di hati, maka untuk mengasah kepekaannya berbeda dengan mengasah otak untuk meningkatkan kecerdasan intelektual. Semakin sering kita besinggungan dan berbenturan dengan elemen-elemen visual, maka semakin pekalah perasaan kita. Karena sebuah desain publikasi pemasaran yang indah, estetis, dan 'pas' di rasa akan lebih menarik dibanding desain yang dibuat hanya dengan mengandalkan logika. Desain brosur, spanduk, iklan, dan lain-lain tentang pemasaran sekolah yang memiliki nilai estetis tinggi akan lebih banyak dilihat orang dibanding dengan media pemasaran yang dibuat asal terbaca. Meskipun desain yang indah tidak serta-merta meningkatkan perolehan siswa sebuah sekolah. Karena media-media tersebut adalah komponen 'pengganggu sasaran' dari sebuah mesin besar bernama pemasaran sekolah.
Selembar brosur promosi Perguruan Tinggi hendaknya berbeda dengan brosur Taman Kanak-kanak atau Play Group. Baik dalam penggunaan warna, jenis huruf, ilustrasi, bahasa, bahkan bentuk lipatannya. Karena meski kedua lembaga tersebut sama-sama institusi pendidikan, namun karakternya berbeda. Bisa jadi dalam satu perguruan tinggi tapi berbeda fakultas, maka beda pula gaya desainnya. Fakultas Teknik yang kental nuansa teknologi, futuristik, akan lebih pas dengan warna-warna biru yang HiTech. Sementara Fakultas Sosial akan terasa lebih 'sosial' jika menggunakan warna-warna coklat bersahabat, hangat dan friendly. Sementara Fakultas Pertanian akan terasa lebih 'subur' jika menggunakan warna-warna hijau segar.
Maka sudah seharusnya promosi pemasaran sekolah mempertimbangkan elemen-elemen tersebut untuk mengungkapkan pesan 'penjualan'nya dengan bahasa hati dan perasaan. Mengingat setiap sekolah memiliki karakter yang berbeda-beda, maka tutur visualnya juga bisa berbeda pula. Namun ada bahasa universal yang bisa dipahami oleh setiap individu, baik manusia modern maupun manusia primitif, manusia terdidik maupun kurang terdidik, kaya maupun miskin, bahasa tersebut adalah keindahan. [Budi Yuwono]
Read More......

Selasa, 23 Desember 2008

Prinsip Perancangan Logo

Lebih dari sekedar mengkomunikasikan “nama” perusahaan, logo merupakan kombinasi antara merek (brand) merupakan kombinasi dari merek, menjadi simbol visual dari merek, dan sekaligus menjadi “nama” dari merek tersebut dalam bentuk yang unik. Begitu catatan yang kita petik dari Al Ries dan anak perempuannya, Laura Ries dalam The 22 Immutable Laws of Branding. Logo, baik berupa tipografi maupun simbol grafis, bertugas untuk membangun persepsi awal tentang merek dan kemudian menjadi representasi dari nama merek. Meski nama merek tidak tercantum, logo yang kuat segera mengingatkan orang pada sebuah nama merek.

logo dirancang untuk mampu mengkomunikasikan kesan tentang merek, karakter merek maupun perusahaan, serta wibawa merek (brand charisma). Sehingga begitu orang melihat sebuah logo, ia segera ingat pada merek yang diwakili oleh logo tersebut beserta berbagai atributnya. Begitu melihat logo, seseorang langsung memiliki kesan yang sangat kuat terhadap merek maupun produknya.
logo yang kuat memberi pengaruh besar terhadap persepsi konsumen, terutama bagi konsumen yang masih berada pada jenjang suspect, yakni calon pelanggan yang kecurigaan dan rasa kurang percayaannya terhadap produk maupun merek masih sangat kuat. Logo yang dirancang dengan matang, seksama dan komunikatif akan mampu mengubah suspect menjadi prospect atau bahkan customer. Apa penyebabnya sedangkan ia belum memiliki pengalaman terhadap produk? Kesan yang berhasil dibangun oleh logo.
logo yang efektif harus dapat menimbulkan kesan yang kuat dalam waktu kurang dari 30 detik. Ini untuk logo yang bergerak, atau logo yang diinderai dengan bergerak cepat. Misalnya logo yang dipasang untuk display, logo yang dipampang pada billboard yang ada di jalan, maupun logo di websites. Logo penerbit pada sebuah buku dapat diinderai dalam waktu yang lebih lama ketika seorang calon pembeli sedang memperhatikan buku yang mencantumkan logo tersebut. Tetapi perancangan logo harus tetap mengasumsikan bahwa logo tersebut diinderai dengan bergerak, yakni sebagaimana seorang calon pembeli berjalan-jalan dan melihat selayang pada berbagai produk yang ada, dimana display toko dipadati oleh produk-produk kompetitor.

logo yang efektif dan powerful
Dalam buku The 22 Immutable Laws of Branding, Al Ries dan Laura Ries menulis bahwa logo dapat memiliki beragam bentuk. Bundar, segi empat, oval, horisontal, vertikal. Namun semua bentuk logo tidak diciptakan serupa di mata konsumen.
“Karena mata konsumen Anda diciptakan bersebelahan secara horisontal, maka bentuk ideal dari logo adalah secara horisontal pula. Kira-kira lebarnya dua seperempat bagian dan tingginya satu bagian,” kata Al Ries, “Bentuk horisontal ini akan memberikan dampak maksimal bagi logo Anda. Ini berlaku dimana pun logo tersebut dipakai: di gedung, brosur, kop surat, iklan atau kartu nama.”
Desain horisontal sebuah logo terutama penting saat logo dipajang di counter-counter penjualan. Di papan pengumuman atau spanduk, sebuah logo vertikal sangat tidak menguntungkan. Logo yang mengandalkan pada pembacaan bergerak, diinderai dalam waktu sangat cepat, harus menggunakan desain horisontal sekaligus mensyaratkan kesan dinamis. Corporate bisa membangun kesan sebagai merek yang maju, progressif, matang dan inovatif melalui logo yang memiliki kesan dinamis. Pemilihan warna yang tepat dari logo akan memperkuat efek yang ditimbulkan, positif maupun negatif. Kurt Geer, penulis The Psychology of Colors in Advertising and Marketing, menunjukkan bahwa warna memberi pengaruh sangat kuat pada alam bawah sadar kita (subconscious) dan menimbulkan reaksi positif maupun negatif dalam waktu 90 detik. Pemilihan warna yang tepat akan meningkatkan efektivitas sebuah logo.
logo Garuda Indonesia adalah contoh yang baik. Memberi kesan sangat dinamis, berpadu dengan warna yang tepat. Artinya, pemilihan warna tidak hanya berdasar alasan keindahan. Tetapi lebih penting adalah efek psikologis berupa kesan prasadar (subconscious) yang tepat dan kuat. Khusus berkait dengan warna, terutama dalam kaitannya dengan kebutuhan periklanan dan pemasaran, banyak ahli yang telah menulis. Bidang ini telah menjadi perhatian dalam dunia psikologi, komunikasi, periklanan maupun pemasaran.
Al Ries, pakar pemasaran yang sangat dikagumi kepakarannya dalam masalah positioning, memperingatkan bahwa desainer logo sering serampangan dalam memilih tipologi huruf untuk mengekspresikan atribut merek tanpa melihat pertimbangan apakah logo tersebut bisa dengan mudah dibaca (ingat, perancangan logo HARUS mengasumsikan bahwa calon pelanggan menginderai logo kita kurang dari 30 detik!). Peringatan Al Ries ini sangat perlu kita perhatikan. Lebih-lebih jika desainer memang tidak secara khusus mendalami logo, atau sekurang-kurangnya tidak memahami prinsip-prinsip logo yang baik. Sangat fatal akibat yang ditimbulkan oleh kesalahan pemilihan logo. Sekali lagi, karena logo tidak sekedar mengkomunikasikan nama. Ia juga mengekspresikan citra produk, citra merek dan citra perusahaan. Melihat logo –dan nantinya kemasan, termasuk cover buku—calon pelanggan akan menetapkan “harga yang pantas” bagi produk tersebut. Calon pelanggan juga mempersepsi kualitas internal produk melalui kesan terhadap logo dan pada akhirnya mencakup kemasan secara keseluruhan.
Dari berbagai studi, logo dengan menggunakan tipografi –pemilihan tipologi huruf yang sesuai—cenderung lebih efektif, dan memudahkan untuk membangun brand-awareness. Penggunaan simbol-simbol grafis sebagai logo memang masih sangat mungkin menghasilkan kekuatan komunikasi yang efektif dan mengesankan (impressing). Tetapi butuh kecermatan dan perencanaan yang jauh lebih matang, dan memerlukan proses sosialisasi yang lebih menelan biaya. Contoh logo berupa simbol yang sangat efektif adalah Mercedes dan Garuda Indonesia. Perusahaan umumnya melakukan perubahan logo untuk membangun kesan lebih akrab, personal, dinamis, atau kesan lain yang lebih positif, selain alasan-alasan khusus semisal perubahan positioning produk.
Berkenaan dengan penggunaan tipologi huruf, Al Ries dan Laura Ries memperingatkan dalam The 22 Immutable Laws of Branding, “Jika tipologi huruf tersebut tidak terbaca, maka logo tersebut menjadi kecil maknanya dan bahkan tak bermakna sama sekali di benak konsumen. Bukan dikarenakan oleh tipologi huruf yang dipakai, tapi lebih karena konsumen memang tidak dapat membaca. Mampu tidaknya sebuah logo dibaca (dengan mudah) adalah pertimbangan yang paling penting dalam pemilihan tipologi suatu logo.”
Keterbacaan sebuah logo yang menggunakan tipografi, sangat ditentukan selain oleh pemilihan tipologi huruf yang sesuai, juga oleh penggunaan warna yang tepat. Pemilihan warna berkait erat dengan karakter dan kesan yang ingin ditimbulkan, sehingga secara keseluruhan akan menimbulkan kebanggaan bagi konsumen ketika membawa produk yang di dalamnya terdapat logo tersebut. Di sini, logo memberi identity benefit. Manfaat berupa identitas. Logo berpengaruh pada pembentukan wibawa merek (brand charisma).
Dalam Color Psychology, disebutkan, “Penting artinya memahami psikologi pemilihan warna. Sebuah pemilihan warna yang baik membantu menciptakan sistem identitas yang lebih efektif, sementara pemilihan warna yang buruk dapat secara nyata merusak citra lembaga Anda di mata masyarakat.”
Kurt Geer, seorang konsultan logo, memberi rekomendasi agar menggunakan tidak lebih dari 3 warna dalam satu logo. Catatan Kurt Geer ini harus saya tambahkan bahwa penggunaan tiga warna merupakan batas maksimal efektif. Setiap warna harus tampil secara solid. Akan lebih baik apabila logo disusun kurang dari tiga warna. Jadi misalnya logo itu terdiri dari tipologi huruf dan di bawahnya menggunakan garis yang kuat, maka penggunaan warna dapat dirancang dalam bentuk –katakanlah—tipologi huruf menggunakan warna tertentu dan garis dirancang dengan warna lain yang berbeda.
Secara ringkas, perancangan logo mengikuti beberapa prinsip. Pertama, kesederhanaan (simplicity). Selain menarik, logo harus sederhana sehingga mudah menancap dalam ingatan kita. Mudah kita ingat, mudah kita gandakan. Kedua, kelenturan (flexibility). Logo yang baik harus mudah diaplikasikan ke dalam berbagai bentuk media promosi. Meskipun teknologi percetakan sudah banyak memudahkan aplikasi logo, perancangan logo tetap harus memperhitungkan aspek kelenturan. Ketiga, keterbacaan (legibility). Selain menarik, mudah digandakan dan mudah diaplikasikan, logo juga harus mudah dibaca. Orang mudah membedakan logo kita dengan logo lain.

sekolah, lambang dan logo
Selain logo, ada lambang. Ini merupakan komunikasi visual dari makna, prinsip dan berbagai hal yang ”sakral” bagi organisasi. Sekolah maupun perguruan tinggi umumnya berada di bawah organisasi yang memiliki lambang sakral tersebut. Anda tentu hafal dengan lambang Muhammadiyah, Hidayatullah, Persis dan berbagai organisasi lain. Umumnya lambang ini secara otomatis menjadi logo sekolah atau perguruan tinggi. Resikonya, citra sekolah tersebut kurang kuat, terutama ketika rentang kualitas sekolah sangat jauh. Penggunaan lambang organisasi sebagai logo sekolah hanya menguntungkan apabila citra keseluruhan organisasi sangat baik, citra seluruh sekolah yang berada di bawah naungan organisasi tersebut baik, dan apabila lambang organisasi mudah diingat serta memiliki daya beda yang tinggi. Meskipun demikian, penggunaan lambang organisasi secara seragam menyulitkan sekolah melakukan diferensiasi. Sulit orang membedakan antara sekolah Muhammadiyah yang satu dengan sekolah Muhammadiyah lainnya.
Keputusan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) membuat logo sendiri merupakan langkah berani yang sangat positif bagi pemasaran sekolah. UMY membedakan antara penggunaan logo dan penggunaan lambang perguruan tinggi Muhammadiyah. Yang pertama terutama untuk komunikasi pemasaran, yang kedua lebih berkait dengan urusan-urusan formal dan ”sakral”. Sayangnya, kekuatan logo baru tidak diikuti kekuatan tag line. Kalimat ”A Leading and Enlightening University” susah diucapkan. Tidak mengalir. Dua bunyi "en" yang berurutan, membuat pengucapan tidak lancar, bahkan oleh orang Inggris sendiri.
Berkenaan dengan penggunaan logo ini, UMY memilah antara lambang resmi dan lambang pendamping. [Mohammad Fauzil Adhim, SchoolMarketing]
Read More......

Jumat, 19 Desember 2008

Pemasaran Sekolah Berbasis Data

Tanpa data, kita bisa membuat spanduk, mendesain poster, mencetak brosur yang tak terhitung jumlahnya, memasang baliho dimana-mana, serta melakukan berbagai taktik pemasaran lainnya. Tetapi kita bisa kehabisan tenaga –dan modal—tanpa memperoleh hasil yang memadai. Kita sudah bekerja keras, sangat keras bahkan, tetapi hasilnya sangat nihil. Habis-habisan kita menggunakan anggaran yang dialokasikan oleh lembaga, tetapi tak habis-habisnya kita termangu mengapa segala upaya kita tak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Ujung-ujungnya dengan manyun kita berkata, “Saya sudah melakukan berbagai macam cara, tetapi saja hasilnya tidak menggembirakan.”

Atau yang lebih parah lagi, “Kita sudah menerapkan segala cara promosi, tetapi tidak ada hasilnya.” Kita salah memahami bahwa segala cara yang kita lakukan berbeda dengan segala cara promosi. Segala cara yang kita lakukan berarti keseluhan dari apa yang kita lakukan tidak berhasil, sehingga kita perlu memeriksa apa yang menyebabkan cara-cara tersebut tidak efektif. Sementara kalau kita mengatakan segala cara promosi, diam-diam kita menumbuhkan sikap pesimis pada diri sendiri dan apriori terhadap teori-teori pemasaran.
Jauh lebih parah lagi kalau kita berkata, “Susah. Orang sekarang ini sulit diajak pada kebaikan.” Kita mengira orang tak mau berubah, padahal kita yang tidak tahu cara berkomunikasi dengan mereka disebabkan kita berpromosi tanpa mengerti siapa yang kita ajak bicara; tanpa memahami cara berpikir target pasar kita. Kita sibuk membanggakan sekolah kita, sementara target pasar yang kita bidik tidak merasakannya sama sekali.
Apa manfaat data? Memahami target pasar yang akan kita bidik. Jika memiliki data yang memadai tentang konsumen (baca: wali murid) dari tahun ke tahun, kita bisa menggunakannya sebagai bahan analisis untuk memahami pergeseran minat, gaya hidup, orientasi beragama serta berbagai aspek psikografis lainnya dari konsumen. Ini sangat bermanfaat untuk memprediksi perubahan psikografis yang mungkin terjadi di masa mendatang serta memperhitungkan imbasnya bagi kegiatan pemasaran sekolah; cara apa yang paling efektif dengan perubahan tersebut.
Efektif tidak sama dengan mahal. Justru berbasis data yang kuat, kita bisa merancang kegiatan pemasaran berbiaya rendah tetapi dahsyat hasilnya (low budget high impact).
Sumber Data
Sumber data yang paling mudah kita akses adalah formulir pendaftaran yang berisi data-data murid dan wali murid. Ada data demografis dan psikografis yang bisa kita peroleh jika formulir pendaftarannya kita rancang sesuai dengan kebutuhan sekolah secara keseluruhan, baik untuk menyusun program pendidikan maupun program pemasaran. Dalam hal ini, bagian administrasi perlu mengelompokkan data tersebut, mengolahnya dan menyajikannya sebagai bahan yang siap digunakan.
Data demografis memerlukan informasi pendukung agar data tersebut memberi manfaat lebih besar bagi perencanaan pemasaran sekolah. Kita bisa mengambil data pendukung dari pihak ketiga, melakukan survey maupun observasi. Data psikografis yang memadai perlu dianalisis lebih lanjut agar bisa “bunyi”. Bukan sekedar berisi informasi mentah.
Berapa lama waktu yang diperlukan untuk mengumpulkan informasi? Baik, bagian administrasi memang memiliki setumpuk arsip. Tetapi jika belum diolah, perlu waktu antara 2-6 bulan untuk menjadikannya sebagai data yang “bermakna”. Proses ini termasuk analisis dan asesmen.
Pengumpulan informasi dan analisis merupakan komponen yang sangat fundamental bagi perencanaan pemasaran, mengembangkan temuan-temuan fakta untuk merumuskan asumsi perencanaan sampai kemudian memutuskan strategi komunikasi pemasaran yang kita pakai. Tahap awal asesmen berdasarkan data yang sudah kita miliki adalah melakukan identifikasi kekuatan dan kelemahan di lingkungan internal sekolah, serta ancaman dan peluang yang berada di luar lingkungan sekolah. Setiap kali berbicara tentang perencanaan, termasuk perencanaan pemasaran sekolah, salah satu hal penting yang harus kita lalui memang analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunities dan threaties).
Ini berarti bahwa, selain berdasarkan data yang ada pada formulir pendaftaran, juga perlu dilengkapi dengan data sekunder dari survey, observasi, wawancara, data pihak ketiga serta sumber-sumber lainnya.
Bagaimana Memanfaatkan Data
Apa yang kita lakukan setelah memperoleh data? Pertama, mengelompokkan, menganalisis, melengkapi dengan data penunjang, dan menggunakannya sebagai bahan asesmen bagi sekolah. Kita sudah membahasnya secara ringkas pada bagian sebelumnya.
Kedua, menggunakan data yang sudah “siap saji” tersebut sebagai bahan untuk merancang analisis dan perencanaan strategi pemasaran yang tepat. Bagian ini berisi temuan-temuan dan analisis strategi pemasaran yang tepat, termasuk mencakup isu, tantangan (challenges) serta peluang bagi sekolah dengan positioning yang sudah ditetapkan, kemungkinan pertumbuhannya dan cara-cara meningkatkan pertumbuhan. Dalam hal ini kita perlu memahami peta sekolah kita dalam pemasaran, sehingga kita mampu merumuskan secara tepat apa yang harus kita lakukan; penetrasi, pengembangan pasar, pengembangan produk sekolah atau melakukan diversifikasi layanan.
Ketiga, rumusan tersebut diolah lebih lanjut menjadi rencana pemasaran lembaga; dalam hal ini bisa yayasan. Selanjutnya diterjemahkan menjadi rencana tiap-tiap bagian di sekolah, termasuk di dalamnya arah pemasaran tiap bagian, tujuan, perencanaan waktu dan anggaran, serta alat evaluasi.
Ini semua bermanfaat untuk menjaga pasar sekolah agar tetap bertumbuh tanpa mematikan sekolah lain. Sekolah kita tetap eksis meskipun ada sekolah baru berdiri tepat di depan kita.
Semoga bermanfaat.
Read More......

Kamis, 18 Desember 2008

Langkah Bijak Memilih Media

Saat ini kita hampir-hampir tak bisa lagi mengelak dari terpaan media. Mulai dari bangun tidur, mambuka mata, mandi, sarapan, pergi bekerja, hingga pulang lagi ke rumah sampai menjelang tidur lagi, tak bisa dihitung berapa banyak mata dan teinga kita berbenturan dengan media Media laksana senjata api, kreatifitas adalah pelurunya, dan pesan promosi adalah amunisi yang siap meledak dan 'meracuni' benak sasaran. Secanggih apapun senjata 'media' jika peluru kreativitas tidak tajam, maka sangat mungkin sasaran meleset atau bahkan tidak kena sama sekali. Demikian juga setajam apapun peluru 'kreativitas' jika senjatanya kurang canggih, maka bisa jadi peluru tidak sampai pada sasaran. Kreatif dan media adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Meskipun demikian, kita tidak bisa mengabaikan peran sniper yang akan menembakkan pelurunya. Untuk itulah diperlukan data mengenai sasaran yang akan dibidik, sehingga efektifitas media bisa maksimal.

Konsep relativisme yang diusung profesor 'jabrik' Albert Einstein, barangkali bisa diterapkan dalam kaitannya dengan terpaan media. Secangkir teh hangat yang dihidangkan pagi hari menjelang berangkat kerja, bisa jadi rasanya berbeda dengan ketika dihidangkan sore hari dalam suasana yang lebih santai, apalagi ditemani sepiring pisang goreng dan harian sore. Meski tehnya sama, cangkirnya sama, tapi ketika suasana pagi serba terburu-buru dan pikiran sudah berangkat duluan meninggalkan badan (karena urusan kantor yang harus diselesaikan pagi hari), maka manisnya, kentalnya, dan hangatnya teh tersebut tak senikmat ketika diminum sore hari. Artinya apa? Pesan pemasaran yang baik adalah yang tepat tempat, tepat waktu, tepat situasi dan tentu saja tepat sasaran.
Beberapa pertimbangan ketika akan menentukan media pemasaran adalah; Pertama, Media habit. Jika ingin memasarkan sekolah menggunakan media televisi, maka harus dilihat, kebiasaan calon wali murid yang menjadi sasaran, jam berapa biasanya menonton televisi? Acara apa yang biasanya di tonton? dan sebagainya. Demikian juga ketika memutuskan untuk menggunakan media cetak, media luar ruang, atau media yang lain.
Kedua, Product. Meski sama-sama media cetak misalnya, berbeda produk, maka berbeda pula media cetaknya. Memasarkan produk untuk anak-anak, maka akan lebih tepat di majalah anak-anak. Sementara untuk produk kaum ibu, lebih tepat menggunakan media tabloid wanita. Meskipun perlu dipertimbangkan lagi, tabloid wanita yang mana yang sering dibaca kaum ibu dan relevan dengan produk yang ingin dipasarkan. Jika salah menentukan media –kaitannya dengan produk- maka bisa berimbas negatif terhadap citra produk Misalnya sebuah Sekolah Dasar Islam Terpadu, kurang relevan jika diiklankan di tabloid wanita yang banyak foto-foto yang mengumbar aurat.
Ketiga, Message. Pesan pemasaran yang ingin disampaikan. Media spanduk, akan lebih efektif ketika hanya memuat pesan-pesan yang sifatnya singkat namun menarik. Karena jarang sekali, pembaca spanduk adalah orang yang menyengaja datang hanya untuk membaca informasi yang ada di dalamnya. Sehingga dibutuhkan kemasan pesan yang simpel dan 'mengganggu' baik tulisannya, warnanya maupun gambarnya. Betapa sering kita jumpai spanduk yang berjubel, berderet tulisan kecil-kecil, semua informasi dimasukkan, sehingga beban dan tugas spanduk menjadi cukup berat. Padahal pembaca spanduk kebanyakan adalah pengendara sepeda motor atau mobil, sehingga akhirnya informasi yang disampaikan bahkan tidak terbaca. Meski sama-sama spanduk rentang, pemasangan di jalan tol dengan arus pengendara yang melaju cepat, dibanding spanduk yang dipasang di pojok jalan dekat lampu merah, hendaknya karakter pesannya juga berbeda. Belum lagi media lain, seperti iklan koran, brosur, iklan radio dan sebagainya.
Keempat, Budget. Bagaimana jika biaya media ternyata cukup mepet? Maka pemilihan media harus lebih selektif. Media-media sekunder mungkin perlu dibatasi. Apakah media utama harus televisi yang banyak dilihat orang? Sementara biaya tidak mencukupi, dan segman yang akan dibidik tidak seluas penonton televisi? Maka media utama bisa berupa spanduk di jalan-jalan, atau brosur yang didistribusikan langsung ke sasaran potensial.
Sebenarnya masih cukup banyak faktor-faktor yang harus dipertimbangkan ketika akan menetapkan pemilihan media. Baik jenis media, jangkauan media serta karakteristik media. Paling tidak, ketika tim promosi sekolah memahami beberapa hal tadi, harapannya ketika memutuskan untuk menggunakan brosur atau spanduk rentang sebagai media, tentu sudah melewati berbagai pertimbangan yang matang. Sehingga tidak terjadi pemborosan biaya media, karena baik desain, isi, maupun distribusi dan penempatan yang salah. Karena distribusi yang tepat sasaran akan memengaruhi decision maker untuk mengambil keputusan, bahwa sekolah Anda adalah pilihan utama. Semoga. [Budi Yuwono]
Read More......