Kamis, 08 Januari 2009

Mengemas Produk Agar Lebih Hidup

Pepsi butuh waktu lima puluh tahun untuk menyadari kesalahannya. Awalnya mengekor pada Coca-Cola, termasuk warna yang dipakai maupun brand-image yang dibangun. Tetapi cara ini gagal meraih pasar yang kuat. Belakangan, Pepsi menyadari kekeliruan ini dan segera meng­ubah strateginya. Jika Coca-Cola memilih warna merah menyala, dan seluruh publikasi komersilnya didominasi warna merah untuk menancapkan ingatan yang sangat kuat pada benak konsumen; maka Pepsi menggunakan warna biru sebagai identitas mereknya.

Langkah ini membawa hasil yang menakjubkan. Kalau lihat warna biru tua, orang segera ingat Pepsi. Keberhasilan ini juga ditunjang oleh keputusan Pepsi untuk melakukan resegmentation dan repositioning. Jika Coca-Cola menjadi coke-nya orang dewasa, maka berhadap-hadapan dengan Coca-Cola justru akan sulit memperoleh market share yang besar. Karenanya, Pepsi membidik anak muda dan memposisikan sebagai minuman yang membawa spirit, enerjik, dan dinamis.
Tahun 1985, kedudukan Coca-Cola sebagai pemimpin pasar minuman ringan nyaris tergeser oleh pesaing beratnya, Pepsi. Ini membuat pihak Coca-Cola kebingungan. Setelah meluncurkan kem­bali Coke asli dengan label Coca-Cola Classic, mereka segera melemparkan dua posi­tioning statement yang diharapkan mampu menggairahkan penjualan. Untuk New Coke dipa­kai We’ve Got a Taste for You dan kemudian Catch the Wave, sedangkan untuk Coca-Cola Cla­ssic America’s Real Choice dan se­lanjutnya Red, White and You.
Dua positioning statement itu tentu saja membingungkan. Konsumen sukar menangkap apa yang dikehendaki oleh Coca-Cola. Coke cepat menyadarinya dan menggan­tinya menjadi ha­nya satu positioning statement: Can’t Beat the Feeling (1988), Can’t Beat the Real Thing (1989), dan Always Coca-Cola (1993). Tema yang terakhir tersebut mudah diingat, mudah dimengerti, dan mudah dikembangkan (dalam arti positif). Sejak itu, Coke kembali berjaya dan mampu menjaga jarak lagi dengan Pepsi, setelah sebelumnya nyaris terkejar.
Coca-Cola memang menjadi pemimpin pasar, tetapi Pepsi memiliki posisi yang kuat. Mengutip Al Ries, idealnya ada dua merek yang paling berpengaruh dalam satu kategori produk. Hadirnya pesaing kuat yang dihadapi dengan strategi kuat juga, justru akan meluaskan pasar dan meningkatkan permintaan. Dengan dua pemain utama, pasar lebih dinamis dan corporate akan lebih kreatif melakukan inovasi produk, pemberian layanan konsumen dan pencarian strategi pemasaran yang matang dan sekaligus tangkas melakukan pembedaan (diferensiasi) dengan kompetitor. Situasi persaingan ini juga melahirkan komitmen perusahaan untuk menjaga ekuitas merek dan senantiasa meningkatkan kualitas, baik layanan maupun produk.
Pembedaan merupakan hal mutlak ketika persaingan sudah sangat kuat. Seperti kata Jack Trout, “Differentiate or die.” Berbeda atau mati. Mereka yang tidak mampu melakukan pembedaan secara kreatif –hanya asal beda—tidak akan memperoleh brand-awareness yang kuat dari konsumen, kecuali jika ia pemain satu-satunya atau ia pemain pertama dan dalam waktu cukup lama tidak ada kompetitor yang kuat.
Kaidah the first means the best masih berlaku dalam hal ini. Yang pertama adalah yang ter­baik. Meskipun yang pertama belum tentu yang terbaik, tetapi publik cenderung mempersepsi yang pertama sebagai yang terbaik. Sementara yang datang berikutnya, cenderung dipersepsi lebih rendah daripada yang sebenarnya (perceived worse), kecuali jika yang kedua mampu menunjukkan keunggulan konsepnya. Menjadi yang pertama sulit memulainya, tetapi lebih mudah meraih sukses. Sebaliknya, menjadi yang kedua (apalagi yang ketiga) lebih mudah memulainya, tetapi resiko jatuh di tengah jalan akan lebih besar.
Karena yang pertama adalah yang terbaik, perusahaan selalu berusaha menjadi yang per­tama. Jika tidak mampu, perusahaan berusaha menemukan kategori baru sehingga ia bisa menjadi pemain pertama di kategori tersebut. Obat flu banyak, tetapi obat flu yang tidak menimbulkan kantuk adalah Sanaflu. Inilah kategori baru. Menjadi pemain pertama obat flu tidak mungkin karena obat flu memang sudah sangat banyak. Tetapi Sanaflu menemukan kategori baru: OBAT FLU YANG TIDAK MENIMBULKAN KANTUK.
Ini tidak sekedar teknik beriklan.
Memunculkan kategori baru berarti menciptakan pasar dan sekaligus memudahkan untuk menjadi pemimpin pasar. Merek teh sangat banyak, tetapi teh botol cuma Sosro. Hi-C yang didukung oleh team pemasar tangguh dari The Coca-Cola Company International, tidak mampu melawan domi­nasi Teh Botol Sosro. Hi-C dianggap bukan teh botol yang autentik. Setelah lebih dari sepuluh tahun gagal meraih pasar, Hi-C baru menyadari kesalahannya. Berkoalisi dengan Nestle, The Coca-Cola Com­pany mereborn (melahirkan kembali produk yang sama) dengan cara rebranding (membuat merek baru). Jadilah Frestea. Produk lama dengan merek dan kemasan baru ini segera meraih sukses besar di pasar. Ini merupakan ancaman bagi Sosro. Maka Sosro meluncurkan produk yang disiapkan untuk memukul Frestea. Namanya S-Tee. Soal pricing & positioning, disiapkan untuk berhadap-hadapan de­ngan Frestea. Dengan demikian, posisi Sosro sebagai pemimpin pasar tidak perlu terganggu. Cukup S-Tee yang berperang melawan Frestea. Kalau kemudian S-Tee menang melawan Frestea, tak jadi soal. Toh sama-sama punya Sosro.
Kaidah the first means the best juga berlaku untuk sekolah. SDIT pertama di suatu daerah (meskipun sudah ada puluhan SDIT di seluruh Indonesia), sekolah alam dan berbagai nama jenis lainnya, segera memperoleh respon yang bagus meskipun masyarakat sebenarnya belum mengerti betul konsep masing-masing sekolah. Salah satu sebabnya, masyarakat (calon konsumen) menangkap ada inovasi di balik nama-nama itu.
Tapi bagaimana jika sekolah Anda bukan yang pertama? Temukan diferensiasi yang unik dan komunikasikan secara terus-menerus perbedaan tersebut sehingga bermakna. Lebih bagus lagi jika Anda bisa menciptakan kategori baru. Di Surabaya misalnya, Muhammadiyah punya SD Kreatif. Apa yang terbayang dalam benak Anda ketika mendengar nama SD Kreatif? Sesuatu yang inovatif dan positif.
Tentu saja jangan asal bikin kategori. Jika tidak bisa menunjukkan perbedaan signifikan dengan sekolah-sekolah lain, kategori baru yang Anda ciptakan tidak kredibel. Dan karena itu tidak dipercaya.
Berikutnya, yang perlu kita lakukan secara konsisten adalah focusing. Seluruh kegiatan sekolah mengacu pada fokus utama yang hendak dijadikan kekuatan unik sekolah. Berbagai produk baru yang diluncurkan oleh sekolah diarahkan untuk melakukan focusing agar positioning sekolah bisa lebih kuat. Produk ini bisa termasuk layanan untuk wali murid, kegiatan publik, event untuk murid dan berbagai bentuk produk pendukung. (Mohammad Fauzil Adhim, School Marketing, diolah dari berbagai sumber).

Tidak ada komentar: