Selasa, 30 Desember 2008

Kelamin Huruf


Apa yang salah dalam penulisan dua papan nama di atas? Bukannya terbaca dengan sangat jelas “Pondok Pesantren Putra” maupun “Pondok Pesantren Putri” ! Tapi rasanya ada yang kurang pas di situ. Ya !, rasa… yang setiap orang memilikinya. Sehingga benarlah bahwa tidak ada istilah salah atau benar dalam desain, yang ada adalah “pas atau tidak”.

Ukuran ke'pas'an atau kepantasan barometernya tidak cukup hanya menggunakan logika dan rasio berpikir semata. Karena rasa pas atau tidak letaknya di hati, yang setiap kita memiliknya. Maka sudah selayaknya ketika merancang sebuah publikasi pemasaran mempertimbangkan hal-hal tersebut. Contoh di atas hanyalah salah satu aplikasi elemen desain visual yang sangat sederhana. Dalam desain komunikasi visual, setiap elemen -baik warna (color), huruf (typhography), maupun bentuk (shape)- memiliki kehidupan, status sosial, 'ruh', bahkan jenis kelamin. Belum lagi ilustrasi, gaya tutur, komposisi dan lainnya.
Huruf 'latin' yang meliuk-liuk gemulai, warna pink yang genit, dan bentuk oval yang lembut, jenis kelaminnya perempuan. Sedangkan huruf bold yang kaku dan berat, warna kuat merah/hitam serta bentuk persegi empat yang solid adalah berjenis kelamin laki-laki. Barangkali pernyataan ini tidak harus dibuktikan secara empiris, meskipun sudah ada beberapa peneliti yang melakukannya, namun rasa di dalam hati kita mengatakan demikian. Kembali lagi pada pertanyaan di awal, apakah desain papan nama pesantren di atas salah ? Sekali lagi jawabannya, tidak! yang ada adalah kurang pas.
Karena 'rasa' letaknya di hati, maka untuk mengasah kepekaannya berbeda dengan mengasah otak untuk meningkatkan kecerdasan intelektual. Semakin sering kita besinggungan dan berbenturan dengan elemen-elemen visual, maka semakin pekalah perasaan kita. Karena sebuah desain publikasi pemasaran yang indah, estetis, dan 'pas' di rasa akan lebih menarik dibanding desain yang dibuat hanya dengan mengandalkan logika. Desain brosur, spanduk, iklan, dan lain-lain tentang pemasaran sekolah yang memiliki nilai estetis tinggi akan lebih banyak dilihat orang dibanding dengan media pemasaran yang dibuat asal terbaca. Meskipun desain yang indah tidak serta-merta meningkatkan perolehan siswa sebuah sekolah. Karena media-media tersebut adalah komponen 'pengganggu sasaran' dari sebuah mesin besar bernama pemasaran sekolah.
Selembar brosur promosi Perguruan Tinggi hendaknya berbeda dengan brosur Taman Kanak-kanak atau Play Group. Baik dalam penggunaan warna, jenis huruf, ilustrasi, bahasa, bahkan bentuk lipatannya. Karena meski kedua lembaga tersebut sama-sama institusi pendidikan, namun karakternya berbeda. Bisa jadi dalam satu perguruan tinggi tapi berbeda fakultas, maka beda pula gaya desainnya. Fakultas Teknik yang kental nuansa teknologi, futuristik, akan lebih pas dengan warna-warna biru yang HiTech. Sementara Fakultas Sosial akan terasa lebih 'sosial' jika menggunakan warna-warna coklat bersahabat, hangat dan friendly. Sementara Fakultas Pertanian akan terasa lebih 'subur' jika menggunakan warna-warna hijau segar.
Maka sudah seharusnya promosi pemasaran sekolah mempertimbangkan elemen-elemen tersebut untuk mengungkapkan pesan 'penjualan'nya dengan bahasa hati dan perasaan. Mengingat setiap sekolah memiliki karakter yang berbeda-beda, maka tutur visualnya juga bisa berbeda pula. Namun ada bahasa universal yang bisa dipahami oleh setiap individu, baik manusia modern maupun manusia primitif, manusia terdidik maupun kurang terdidik, kaya maupun miskin, bahasa tersebut adalah keindahan. [Budi Yuwono]

Tidak ada komentar: